Rencana Mimpi Tambemasa
Oleh : Aprilia Maorin
Waktu
sudah larut malam, tapi seorang gadis masih berkutat dengan segala macam buku yang
ada disekitarnya. Berantakan, itulah yang bisa menggambarkan kondisi kamarnya
saat ini. Ia masih sibuk memilah dan memilih buku yang sudah berserakan tidak
karuan dikamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Tapi pekerjaannya
belum juga selesai. Gadis itu masih berusaha kembali merapikan buku yang berantakan
tadi, setidaknya ada celah untuk ia membaringkan diri malam ini, melihat
keadaan kamarnya yang benar – benar kacau saat ini. Gadis itu masih berusaha
membereskan buku – buku dengan setengah sadar, ia benar – benar mengantuk saat
ini. Entah sudah berapa kali ia menguap. Dan akhirnya ia tertidur diatas
tumpukan buku yang berserakan dikamarnya.
Gadis
itu ialah Agitha Salsabila, gadis yang kini berusia 17 tahun. Ia saat ini
merupakan salah satu siswi di salah satu SMA favorit di kotanya. Menjadi salah
satu siswi di sekolah favorit merupakan kebanggaan bagi sebagian besar orang,
bagaimana tidak. Untuk bisa lolos seleksi saja persaingannya sangat ketat,
namun hal tersebut sebanding dengan apa yang didapatkan disekolah ini, yaitu
sarana dan prasarana yang ada sangat
memadai untuk aktivitas belajar mengajarnya. Meskipun begitu, Githa tidak
terlena dan terbuai akan fasilitas yang mumpuni di sekolahnya, ia tetap
berusaha menyesuaikan dengan kebutuhannya terhadap penggunaan fasilitas yang
ada. Walaupun ia bersekolah di sekolah yang sangat bagus di kotanya, ia tidak
menyepelekan sekolah – sekolah lain yang ada di kotanya. Begitupun dalam hal
pergaulan, yang kata orang anak yang bersekolah di sekolah favorit sebagian
besar berjiwa angkuh dan sombong, karena merasa hebat dan nomor satu. Tapi
Agitha bisa mematahkan pandangan tersebut, ia berteman dengan siapa saja, ia
bergaul dengan siapa saja, tak memandang ia dari sekolah mana. Ia tidak
membedakan teman yang berasal dari satu sekolah maupun sekolah lain yang
mungkin dianggap biasa saja. Ia tetap menjadi sosok yang rendah hati karena
menurutnya tak ada yang perlu dibanggakan dari itu semua.
Githa
merupakan gadis yang cukup peduli akan sekitarnya, meskipun ia sosok yang
pendiam tetapi dibalik diamnya itu selalu ada yang dipikirkannya, salah satunya
adalah memikirkan tentang teman-teman atau adik-adik di daerah pelosok sana
yang mungkin masih minim pengetahuan, dan serba kekurangan akan kepentingan
pendidikan terlebih mengenai sumber bacaan. Jangankan sekolah dengan fasilitas
setara dengan sekolah favorit, untuk fasilitas yang wajib ada pun masih
terbatas, itu mendorong Agitha untuk membuat suatu inovasi atau suatu gerakan
di mana di sana ia bisa berbagi. Ia berniat untuk membuat sebuah taman yang
diberi nama “Tambemasa” Taman Bermain dan Belajar Bersama,
mungkin kelihatan sangat mudah atau sangat sepele tetapi untuk memulai itupun
menurut Agitha tidak mudah, banyak hambatan yang datang dari dirinya sendiri
maupun dari luar, banyak faktor penghambat keberlangsungan nya program tersebut
karena awalnya itu hanya sebuah imajinasi, sebuah angan-angan dari seorang
gadis yang menginginkan orang-orang di luar sana yang mungkin masih minim
wawasan, dan sumber bacaan bisa menambah wawasan dari apa yang nanti ada di
program yang sedang direncanakan oleh Agitha. Namun itu semua tidak berjalan
mudah, untuk memulainya saja ia harus banyak berkorban terutama berkorban waktu,
ia harus menyisihkan waktu untuk mempersiapkan program ini, mulai dari tidur
larut malam, hanya sekadar menyusun program dan juga mengumpulkan buku-buku yang
masih bagus yang mungkin bisa menjadi sumber belajar di Tambemasa nantinya.
Sekarang
ia ada dikondisi disudutkan akan pilihan untuk melanjutkan angan-angan nya atau
untuk berhenti dan tidak memperdulikan lagi apa yang sudah direncanakannya,
faktor terbesarnya adalah lingkungan sekitarnya tidak sepenuhnya mendukung
untuk melanjutkan apa yang sudah direncanakan. Sampai ketika di mana ia
dianggap egois oleh teman - temannya karena mementingkan urusannya, padahal
mereka tidak tahu apa yang sebenarnya tengah direncanakan oleh Githa, dan
mungkin ketika mereka tahu tentang sebenarnya mereka tidak akan menyebut Githa
adalah gadis yang egois karena mengorbankan waktu untuk hal yang mungkin
dianggap tidak penting bagi segelintir orang tetapi hal itu amat penting bagi gadis
tersebut. Karena baginya, hal luar biasa yang bisa dilakukan oleh orang biasa
adalah dengan menebarkan kebermanfaatan sekecil apapun itu, karena sebaik –
baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Di sekolah hari – hari berlalu seperti mana
biasanya, anak sekolah tidak lepas dari banyaknya tugas, baik tugas individu
maupun tugas kelompok, belum lagi kegiatan ekskul yang menyita waktu. Githa bukan
siswa yang aktif untuk mengikuti ekskul di sekolahnya tapi meskipun begitu, ia
biasa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan positif yaitu menggeluti hobinya
saat ini yaitu menulis. Ia seorang seorang gadis yang cenderung pendiam namun,
begitu disaat dimana ia merasa nyaman merasa senang dan bahagia ia bisa menjadi
gadis yang ceria dari biasanya.
Momen
menyebalkan bagi pelajar dimulai ketika mereka disibukkan dengan tugas kelompok
yang tak ada habisnya, yang pada dasarnya tugas yang sering menyita banyak
waktu adalah tugas kelompok, karena jika mengerjakan bersama hanya sebentar,
kita bisa fokus untuk mengerjakannya selebihnya kita malah sibuk dengan dunia
masing-masing, sibuk bercerita, bersenda gurau dan akhirnya tugas pun
terbengkalai.
“Ghit, nanti kita kelompokkan buat
tugas seni budaya jangan lupa kamu cari bahan buat bagian bab 3”, ucap Sandra.
“Maaf aku nggak bisa datang aku ada
kegiatan, yang nggak bisa aku tinggalin nanti bagian bab 3 nya biar aku kirim
ke email kamu” balas Githa.
“Loh kok kamu gitu ?, biasanya kan
juga kita ngerjain bareng kelompok, jadi nanti biar sekalian beres semuanya,
nggak ribet lagi” ucap Sandra dengan nada jengkel.
“Tapi hari ini aku nggak bisa” ucap
Githa tegas. Sandra adalah salah satu temannya yang menganggap Agitha egois
karena mementingkan urusannya sendiri, padahal sebenarnya bukan urusan pribadi
Agitha tetapi urusan banyak orang diluar sana yang sedang dipentingkan oleh
Githa.
“Kenapa ?” tanya Sandra.
“Aku ada urusan, nggak penting
kalian tahu urusannya apa, karena nyatanya kalian pernah menyatakan hal yang
aku lakukan itu tidak penting dan akupun tidak berkepentingan untuk memberitahu
hal apa yang akan aku lakukan” ucap Githa panjang lebar.
Githa
mencoba melawan hambatan yang ada pada dirinya dan pada lingkungannya. Ia harus
fokus pada tujuannya untuk membuat Tambemasa dimana, itu nanti merupakan
tempat belajar dan bermain yang nyaman untuk teman-teman sebayanya ataupun
adik-adik di pelosok sana. Jarak dari pusat kota ke tempat ia akan melakukan
program tersebut kurang lebih memakan waktu 1 jam. Ia menempuh perjalanan 1 jam
dengan mengendari sepeda motornya. Ia ingin melihat tempat yang nantinya akan
menjadi lokasi pelaksanaan program yang direncanakan, yaitu di salah satu desa
terpencil di kotanya. Setelah menempuh 60 menit perjalanan ia sampai di tujuan,
bukan tak ada alasan ia yang memilih desa tersebut, karena sebelumnya ia pernah
berkunjung ke sini saat ia mengikuti program komunitas pencinta alam di kotanya
mereka sempat berjalan melewati desa ini dan yang membuatnya jatuh cinta dengan
desa ini adalah lingkungan yang benar-benar masih asri. Walaupun mungkin jauh
sekali dari kemewahan namun di sini ia bisa merasakan suasana kekeluargaan, ada
yang sedang bercengkrama di teras rumah, membiarkan anak kecil bermain dengan
bebas, mereka bermain dengan alam bermain dengan lingkungan tanpa tersentuh dan
tanpa terpengaruh oleh gadget yang merupakan virus saat ini. Ia mencoba mencari
rumah kepala desa untuk menjelaskan apa tujuan ia kesini, setelah dibantu dan diarahkan oleh penduduk sekitar akhirnya ia
sampai di rumah kepala desa. Githa disambut hangat oleh keluarga tersebut
mereka sangat antusias mendengar program yang telah Githa rencanakan dan itu
membuat gadis itu semangat untuk mewujudkan tekad dan angan-angannya, yang akan
tercapai, dan bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Keluarga
itu menerimanya dengan hangat, ia benar-benar merasakan kentalnya kekeluargaan
di desa tersebut, bahkan program tersebut didukung oleh anak dari kepala desa
yang yang mungkin terpaut usia tidak terlalu jauh dengan Githa seorang
laki-laki bertubuh tegap berlesung pipi namanya adalah Kak Reno ia telah
diminta oleh ayahnya selaku kepala desa untuk membantu keberlangsungan program
kerja Githa didesa tersebut. Ia sangat senang ketika apa yang sudah ia
rencanakan mendapat dukungan penuh dari orang di sekitar, setelah menceritakan
panjang lebar akan programnya, Githa pun diajak oleh kak Reno untuk menuju ke
tempat yang bisa ia jadikan untuk lokasi Tambemasa dan seperti yang
diharapkan, tidak jauh dari rumah kepala desa sebuah rumah dengan pekarangan
yang cukup luas yang menghadap langsung ke sawah menjadi tempat pilihan
pelaksanaan program tersebut. Dapat dibayangkan suasana aman nyaman dan damai
yang dapat dirasakan nanti jika ia benar-benar berhasil melaksanakan apa yang
sudah ia rencanakan sekarang ini.
Tak
terasa sudah 3 bulan program Tambemasa berjalan dengan cukup lancar.
Dari yang awalnya hanya terfokus pada anak – anak saja. Namun kini meluas
hingga ke orang tua, yang tentunya Githa tidak sendiri melaksanakan programnya
ini, ia dibantu oleh keluarga Kepala Desa, dan beberapa relawan dari luar kota.
Dan Tambemasa kini mulai dikenal banyak orang, bahkan banyak yang
memberi dukungan agar program ini juga dilaksanakan ditempat lain agar semakin
banyak orang yang bisa merasakan manfaatnya. Program yang direncanakan diam –
diam oleh Githa, ternyata mulai diketahui oleh guru – guru dan teman - teman
disekolahnya. Mereka memberi dukungan kepada Githa, dan tak jarang ada yang
menawarkan diri untuk menjadi relawan dalam program tersebut. Githa senang
sekali karena apa yang ia rencanakan dan sedang terlaksana ini di terima dan
disukai oleh banyak orang. Ia masih merasa ini mimpi, karena awalnya program
ini hanya ada dalam imajinasi Githa, namun karena besarnya tekad dan niat
Githa, ia berhasil melaksanakannya dengan sangat baik. Dan ia hanya bisa
berkata, “Semua yang terjadi saat ini adalah usaha yang kita lakukan
kemarin, jangan takut bermimpi, yakinlah kamu bisa dan akan ada banyak orang
diluar sana yang menjadi perantara mu untuk menggapai mimpi mu, terobos batasan
yang hanya membuatmu terkekang tanpa perubahan, teruslah belajar, dan peka lah
dengan lingkungan sekitar, teruslah menebar kebermanfaatan dalam kehidupan”.
Komentar
Posting Komentar